Pada dasarnya, dunia pendidikan identik dengan kata belajar. Sebuah kata yang memiliki arti sederhana tetapi berdampak besar bagi kehidupan masa lampau, masa sekarang dan masa depan. Karena dengan belajarlah sebuah perkembangan terbentuk. Dari yang tidak tahu menjadi tahu, dan dari yang tahu menjadi lebih tahu. Belajar dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja, serta dapat terjadi pada ranah kognitif, afektif dan/atau psikomotor. Dengan kata lain, belajar tidak hanya terbatas pada penambahan pengetahuan saja.

        Saat ini, kegiatan belajar lebih banyak dilakukan di sekolah dalam kondisi formal. Dimana setiap siswa diharuskan untuk mengikuti berbagai standar kompetensi dari bermacam-macam mata pelajaran yang disuguhkan setiap harinya. Menguasai materi dalam waktu yang telah ditentukan dan tentu saja harus mengikuti ujian dengan hasil yang harus memuaskan atau melebihi kriteria ketuntasan minimal (kkm). Hal ini tentu memicu semangat para siswa untuk lebih giat belajar agar mendapat nilai baik ketika ujian nantinya. 

        Namun di sisi lain, hal ini memberi dampak buruk yang justru sangat fatal karena mengurangi bahkan menghilangkan makna dari belajar itu sendiri. Kata belajar, ujian dan nilai baik yang saling berkaitan ini membentuk paradigma para siswa yang lebih mengutamakan nilai daripada pengetahuan yang didapatkan. Setiap siswa terpicu untuk mendapatkan nilai tuntas dengan jalan apapun tanpa mempertimbangkan pengetahuan apa yang sudah mereka dapatkan.

        Hal ini semakin diperparah ketika proses pengajaran remidial ditimbulkan dalam kegiatan belajar. Bukan berarti pengajaran remidial tidak efektif dan efisien bagi kegiatan belajar, karena pada dasarnya pengajaran remidial membantu para guru untuk mengetahui kesulitan para siswa dalam belajar, sehingga hal tersebut dapat diperbaiki. Namun, perealisasian pengajaran remidial yang salah dapat menyebabkan semakin merosotnya kepedulian para siswa untuk belajar. Karena saat ini remidial hanya dianggap sebagai suatu kegiatan yang dapat menuntaskan nilai dalam sekejap. Penuntasan nilai ini tidak disertai dengan perbaikan yang mendasar dari apa yang menjadi kekurangan para siswa dalam belajar. Remidial hanya terbatas pada kegiatan “menyelesaikan soal yang diberikan oleh guru” bagi para siswa yang nilainya di bawah kkm dan kemudian dalam waktu singkat akan mendapatkan nilai yang setara dengan kkm.

        Fakta ini membentuk siklus yang sangat miris dalam kegiatan pembelajaran di sekolah. Di mana setiap siswa belajar dan mengikuti ujian. Mereka kemudian mendapatkan nilai sebagai bentuk penghargaan dan apabila nilai berada di bawah kkm, mereka akan mengikuti remidial dan nilai yang setara dengan kkm akan segera berada di dalam genggaman. Semuanya dijalankan tanpa harus menyadari sudah berapa banyak pengetahuan yang didapatkan dalam proses belajar itu. Karena dalam pandangan mereka, nilailah yang terutama.

        Hal ini tentu menjadi masalah dalam dunia pendidikan. Untuk itulah, semua proses dalam kegiatan pembelajaran di sekolah harus dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang benar sehingga tidak memberi makna yang buruk bagi para siswa maupun guru. Melainkan memberi manfaat yang berarti bagi perkembangan ilmu dan pengetahuan.




ITA EVANIA LASE
XI IPA 1
Web/Blog : ...
       


Anda sibuk?
Tetap baca artikel terupdate dan terbaru dari Blog SMAN 1 Gunungsitoli melalui e-mail Anda (GRATIS). Caranya? Masukkan alamat e-mail Anda pada kotak berikut ini dan klik Daftar.

KOMENTARI "Saya Belajar, Saya Ujian, Saya Remidial, Saya Tuntas"

0 komentar:

 
Top