Pada hari kedua MOS, aku datang kesekolah lebih cepat dari biasanya. Saat itu aku sedang berpuasa sehingga aku berencana untuk menjalani hari dengan tenang dan santai agar aku tidak kelelahan. Namun, rencana yang telah kususun sedemikian rupa itu sampai-sampai aku tidak tidur setelah sahur, hancur berantakan karena aku bertemu dengan makhluk pendek berbadan kekar yang sedang duduk didepan kelas. Dia adalah ketua kelompok kami, kelompok “Sap!” yang merupakan kumpulan orang-orang gila dan aneh. Namanya Bernat, biasa dipanggil Ketua, Serizawa, ataupun Seribawa, tetapi kalau malam biasa dipanggil Bernata. Bernat yang paling kuat dikelompok kami, dia juga suka mengganggu perempuan dan menggoda laki-laki. Dia sangat berwibawa, terutama dalam mencari gara-gara. Bernat sangat bertanggung jawab dalam melakukan kesalahan, buktinya dia selalu mengajak kami untuk melakukan kesalahan. Sebenarnya Bernat anak yang pintar, dia pandai dalam jurusan IPS, tapi dia terpaksa ikut jurusan IPA yang membuatnya terjatuh dan hampir berada didasar ranking kelas, untung ada Brian yang selalu berada di dasar. Bernat sangat jarang marah dan sangat mudah bergaul dan digauli bahkan di bully.

            Sebelum aku melanjutkan ceritaku ini, aku akan memperkenalkan diri terlebih dahulu. Namaku Haris, biasanya dipanggil Haris karena namaku memang Haris. Aku merupakan yang paling cerdas di bidang akademik di kelompok kami. Aku suka menggunakan kacamata dan merenungi nasib. Sebenarnya sifatku pendiam dan selalu santai dalam menghadapi sesuatu, tetapi ketika bersama anggota kelompok “Sap!” aku menjadi liar tidak terkendali. Walaupun lumayan pintar, aku sangat bodoh dalam pengetahuan umum, akibatnya aku selalu bengong ketika berbicara dengan orang lain sehingga aku di juluki “Polos”, hina sekali diriku ini. Banyak yang bilang aku tidak pernah marah, padahal tanda-tanda aku lagi marah adalah aku diam tanpa ekspresi dalam jangka waktu yang cukup lama, mudah-mudahan kalian bisa sadar setelah membaca karyaku ini, karena biasanya saat aku marah, anggota “Sap!” yang lain malah menyorakiku dan mengelilingiku seperti baru menemukan makhluk hidup spesies baru yang terkadang disertai adegan pukul-pukulan. Kurasa cukup sampai sini perkenalannya, soalnya aku belum menemukan jati diriku yang sebenarnya, jadi mari kita lanjutkan!!

            “Selamat pagi Bernat!!!” aku menyapa Bernat lalu melewatinya tanpa membiarkannya untuk menjawab dan langsung masuk kedalam kelas untuk menaruh tas, lalu aku kembali menghampirinya dan berkata “Selamat pagi Bernat!!!”. Dia bingung harus menjawab apa, terjadi hening yang cukup lama saat itu sampai akhirnya Agung datang menghampiri kami. Agung adalah ketua kelas kami, namun dia tidak satu kelompok dengan kami, dia terlalu normal untuk masuk kelompok kami. “Selamat pagi!” sapa Agung dengan senyumnya yang khas, karena enek melihat senyumnya aku mengalihkan pembicaraan dengan mengatakan “Mana si Brian?”. “Seperti biasa, masih belum datang” kata Bernat sambil mengangkat kedua tangannya sambil geleng kepala, sepertinya dia sudah tidak kuat berada di dunia lain.

            Brian, ya Brian, namanya memang Brian bukan Bambang Suherman. Brian adalah salah satu anggota kelompok “Sap!” yang paling rendah jabatannya, aku bahkan sudah menganggapnya sebagai pembantu di kelompok kami. Karena jabatannya paling rendah, dia selalu menjadi bahan hinaan dan siksaan kami. Brian sangat mudah emosi dan sangat cerewet, tetapi sangat mudah mengalahkannya dalam adu mulut dan adu suit. Brian orangnya ceria dan lumayan pintar untuk orang-orang bodoh. Dia selalu datang tepat waktu ke sekolah, yaitu saat bel berbunyi. Walaupun dengan berbagai kekurangan, Brian merupakan sumber informasi yang sangat up to date terutama tentang bola, dia juga anak yang baik karena mau disuruh-suruh walau pun kadang-kadang minta imbalan dan yang paling penting dia merupakan anak yang rajin, dia selalu datang tepat waktu saat kerja kelompok terlebih lagi kalau ada rencana main game setelah kerja kelompok.

            Setelah beberapa saat berbincang-bincang dengan Agung dan Bernat yang gak jelas membicarakan apa, Rasyid datang dari kejauhan sambil membawa helm yang digenggam erat ditangannya, sepertinya dia sudah siap untuk tawuran nanti sore melawan anak TK. Rasyid merupakan orang kedua terpintar dalam bidang akademik dikelompok kami. Dia sangat pandai matematika dan pura-pura mati alias berbohong. Kemampuannya dalam matematika sungguh luar biasa, aku tidak bisa mengalahkannya. Apalagi dalam mengendarai sepeda motor, dia sangat pandai melewati kendaraan yang diparkir dipinggir jalan. Dengan kemampuan yang luar biasa tersebut, dia sudah seperti tukang ojek langgananku karena selalu mengantarku pulang kerumah secara cuma-cuma alias gratis. Kebiasaannya yang paling aneh adalah menabrak dinding dan pintu bahkan terjatuh dan terpeleset dilantai karena terlalu liar. Walaupun terkadang di buat-buat, kebiasaannya itu telah membuatnya berhasil membuat kaki dan tangannya terkilir dan mematahkan tulang-tulang ayam yang biasanya disajikan bersama misop.

            “Hai teman-teman!” sapa Rasyid sambil tersenyum lebar. Kami semua diam sambil melihatnya dengan tatapan sadis dan senyum sinis. Karena tiga anggota “Sap!” sudah berkumpul, Agung memutuskan untuk pergi demi keselamatan nyawanya dan harga dirinya karena kami biasanya melakukan tindakan anarkis pada orang lain. Sebagai contoh, kami pernah marah-marah kepada seorang guru sambil membanting benda yang ada disekitar kami termasuk membanting si Brian, saat itu guru tersebut berada 10 meter di depan kami. Bukan hanya anarkis, kelompok “Sap!” sangatlah kreatif, kami selalu menggunakan benda-benda yang ada disekitar kami untuk bercanda walaupun berakhir dengan keributan massal.

            Setelah si Agung pergi, kami bertiga berbincang-bincang di depan kelas dan tanpa sadar kami sudah berada di depan tangga. “Hei minggir!!!” teriak salah seorang kakak kelas yang membuyarkan pandangan kami. Kami hanya bisa menurut agar tidak terjadi adegan kejar-kejaran dimana kami dikejar kakak kelas karena buang air kecil di dalam botol minuman mereka. Tetapi untung saja kakak-kakak kelas itu datang, kalau tidak... bisa saja kami sudah berada di kantor bapak kepala sekolah dan buang air kecil disitu, kalian pasti bisa membayangkan apa yang bakalan terjadi. Kami akhirnya resmi menjadi penunggu di tangga tersebut. Karena memang sudah gila atau apa, kami memutuskan untuk menunggu si Brian di tangga itu. Namun sayang, yang datang bukan Brian melainkan anggota kelompok kami yang paling gemulai dan paling bijak. Namanya Ian, keahliannya adalah seks, bukan melakukannya!!! Tetapi dia mengetahui selak beluk mengenai seks, seperti penyakit kelamin, dll. Dia bahkan bercita-cita menjadi dokter spesialis kulit dan kelamin yang sangat cocok dengan kemampuannya. Dia sangat pandai di mata pelajaran astronomi dan mencari masalah dengan guru. Dia juga hebat dalam membuat kopean dan berbahasa inggris. Ian merupakan anak yang rajin, walaupun demikian dia adalah anggota yang jarang ikut dalam kegiatan tertentu kelompok “Sap!”. Tempat faforitnya adalah wc, tiada hari tanpa wc baginya, dia bahkan mengajak kami kesana untuk menemaninya dan aku sangat malas untuk pergi kesana, kalian pasti mengerti apa maksudku kan?

            Tiba-tiba saja dia memberiku uang Rp 50.000,00. “Ris, beli baju yang kemarin ya!” katanya padaku dengan wajah sok imut yang justru membuatku ketakutan. “Kau beli aja lah” jawabku dengan wajah malas, “Ae, malu aku” katanya dengan wajah yang lebih sok imut yang membuat bulu kudukku keriting. Untuk menyelamatkan nyawa sendiri aku mengatakan “Aku juga malu” sambil melotot. “Kau beli gak!!!!” katanya dengan suara cowoknya (Ian = Cowok), “Gak” jawabku sambil membusungkan dada kedepan dan membusungkan pantat kebelakang serta dengan tatapan melotot, rupanya aku kentut saat itu. Ian pun marah dan adegan kejar-kejaran tidak bisa dihindarkan lagi. Kami kejar-kejaran mengelilingi kelas dan tiang di depan tangga, adegan ini sangat mirip di film-film india, untuk bukan film laga, kalau film laga kami pasti kejar-kejaran sambil menaiki elang. 

            “Gini aja, pergi kita sama-sama” kataku sambil ngos-ngosan, “Ok lah, tapi ikut si Rasyid!” jawab Ian dengan nada kesal. “Kok aku di bawa-bawa? Memangnya kita mau kemana?” kata Rasyid dengan curiga karena takut kami akan menculiknya. Untuk mencegah Rasyid bertanya yang tidak-tidak seperti “Ini dimana? Aku dimana? Siapa aku?, dll” aku mengatakan dengan santai “Sudahlah ikut aja, nanti pas pulang kita kerumahku”. Rasyid hanya bisa mengangguk karena jabatannya lebih rendah dariku (Jabatan = Umur). Ian pun pergi meninggalkan kami dan menuju teman-temannya yang lain yang wanita semua. Kami tinggal bertiga, kesepian, tidak ada yang mau menghibur kami, Brian yang kami tunggu tak kunjung datang juga. Mata kami mulai merah, air bercucuran dimana-mana diwajah kami, panas sekali saat itu.

            “Gini aja, kita tengok dia di tempat parkir, mungkin dia jadi tukang parkir” kataku yang entah dari mana dapat pikiran seperti itu. “Ia juga ya, OK ayo ke tempat parkir!!” jawab mereka dengan semangat 45, mereka benar-benar bodoh sama sepertiku. Baru beberapa langkah kami berjalan, kami terdiam saat melihat Ibu K menuju tempat parkir, Ibu K merupakan wali kelas kami saat kelas X. Rasyid yang entah kerasukan apa menjadi diam tak bergerak sama sekali, Bernat ikutan diam, aku juga ikutan diam, anehnya Ibu K juga diam sambil memandangi kami, sepertinya inilah bukti rasa kekerluagaan antara Ibu dan Anak. Terjadi hening beberapa saat, aku berbalik badan dan tersentak kaget saat melihat mata bernat yang putih semua, sepertinya Bernat akan berubah menjadi Underbernat lalu menggali lubang. 

            Untuk masa depan yang lebih cerah, aku tertawa, Bernat tertawa, Rasyid ikutan tertawa, Ibu K diam. Kami malah tertawa lebih keras sambil berputar-putar dan mengelilingi sebuah pohon yang kami kira odong-odong. Setelah lelah, kami kembali melihat Ibu K sambil melotot dan mulut menganga, kami sangat mirip trio ikan mas kesetrum. Ternyata Ibu K masih diam melihat kami, keringat mulai bercucuran di kepala kami.

            “Ngapain kalian Ris?” tanya Ibu K sambil menggaruk-garuk tangannya, sepertinya dia baru di gigit nyamuk anopheles. Karena panik, spontan aku menjawab “Mencari si Brian bu!”. Keadaan semakin memburuk saat Ibu H datang dan mengajak Ibu K ke kantor guru yang berarti mereka akan melewati kami. Mereka semakin dekat, semakin dekat, jarak kami tinggal 1 milimeter.......tidak, itu terlalu dekat, yang benar saat itu mereka berada tepat dihadapan kami. Agar kami tidak dikutuk jadi batu asah, kami pun pura-pura menjadi anak baik dan menyalam mereka dengan senyum yang melebihi lebar wajah kami, untung saja Ibu K tidak marah saat itu.

            Kami kembali menunggu Brian dengan sabar dan lebih tenang, kami berusaha agar tidak agresif lagi. Akhirnya bel berbunyi dan seperti yang kami duga sejak awal Brian datang saat bel berbunyi. Sungguh ajaib anak ini, selalu datang saat bel berbunyi. Kami pun menuju depan kelas dan menunggunya di sana, saat dia tinggal 2 meter di depan kelas, kami langsung berlari menghampirinya. Adegan ini hampir mirip dengan kisah seekor anjing yang telah berpisah dengan majikannya dalam waktu yang lama dan akhirnya bertemu kembali, bedanya yaitu pertemuan kami dengan Brian disertai adegan pukul-pukulan.

            Hari kedua MOS sangat menyenangkan, kami menghabiskan waktu dengan tertawa dan tertawa histeris yang menyebabkan aku dehidrasi karena kekurangan air ludah. Saat sampai dirumah, aku merenung....ternyata aku haus dan lapar, jadi memutuskan untuk tidur. Kesimpulan cerita ini adalah jangan pernah menunggu si Brian datang dan jangan suka mengganggu guru, serta jangan banyak tertawa saat puasa!!



HARIS BAHRI PERMADI ZEBUA
XI IPA 1
Web/blog : ...


Anda sibuk?
Tetap baca artikel terupdate dan terbaru dari Blog SMAN 1 Gunungsitoli melalui e-mail Anda (GRATIS). Caranya? Masukkan alamat e-mail Anda pada kotak berikut ini dan klik Daftar.

KOMENTARI "Menanti Brian"

0 komentar:

 
Top