
“Grace!
Cepat turun, nanti kita terlambat!” suara tenor abangku membuat aku harus
berhenti berkhayal tentang ‘idola’ku, huuh.. padahal aku sedang terlena
membayangkan idola baruku yang sangat aku kagumi. “Iya.. iya…” jawabku
kemudian.
“Sayang,
ga ada yang ketinggalankan alat tulisnya? Ini hari pertama kamu lho jadi murid
SMA” tanya ibuku padaku.
“enggak
dong ma… Ini kan hari baru jadi ga boleh sampai kacau!” jawabku dengan wajah
berseri-seri.
“wiiih…
semangatnya luar biasa… bukan lagi semangat 45 tapi semangat 50, hahahaaa”
ledakan tawa abangku barusan seakan-akan membuat aku ingin melempar beribu-ribu
piring kearahnya agar tawa itu bisa sedikit tersumbat.
“Chris…
jangan ejek adikmu, justru kamu harus menirunya, semangatnya berapi-api untuk
belajar enggak kayak kamu, kerjanya cuma ngetawain orang aja, kalau kamu
seperti itu terus mau jadi apa kalau besar, mau jadi pelawak? Ingat ya.. kamu
harus bisa naik peringkat semester ini…” kata-kata ibuku tersebut segera saja
membuat abangku diam seribu kata. “yaudah makannya cepat-cepat, nanti kalian
terlambat” tambah ibuku. “ia ma..” jawabku kemudian.
Sekarang
aku sudah tiba disekolah. Sepanjang lorong menuju kelas, tak henti-hentinya aku
bernyanyi-nyanyi kecil yang seakan-akan menyaingi cicitan burung-burung pagi
itu.
“Pagi…”
suara Guela terasa lembut menyambut aku. Guela ini adalah sahabatku. Tepatnya
sahabat baruku, hanya tiga hari waktu yang kami perlukan untuk menjadi akrab.
“pagi juga…. Kamu tumben datang cepat?” tanyaku padanya.
“Hahaha… Ini kan hari pertamaku jadi siswi SMA,
jadi aku mau juga jadi yang pertama datang ke sekolah” jawabnya dengan manis
disertai senyumannya yang tidak kalah manis dengan suaranya.
Aku
langsung meletakkan tasku di meja paling depan, tempat aku dan Guela duduk.
Dengan sesegera mungkin aku melesat ke pintu menunggu munculnya idolaku. Satu
persatu teman-teman baruku mulai memasuki ruang kelas. Tapi, sang idola belum
muncul-muncul juga. Entah kenapa mendadak keceriaanku mulai hilang, aku takut
hari ini dia tidak datang. Belpun berbunyi, rasa cemasku pun semakin
menjadi-jadi, terasa meremukkan tulang-tulang ini.
“kamu
kenapa?” tanya Guela kepadaku. “Enggak kok, enggak apa-apa” jawabku singkat.
“Kamu kayaknya lagi gelisah nunggu seseorang deh” tanya Guela lagi kepadaku.
“Enggak
kok, aku bukan gelisah karena nunggu seseorang tapi aku gelisah karena ini hari
pertama, aku merasa gugup” jawabku kepadanya.
“ Tenang aja.. Aku dengar guru disekolah ini
baik-baik semua paling hanya ada satu atau dua saja guru killer.” Kata Guela yang mencoba menenangkanku.
Didalam
kegelisahanku, tiba-tiba ada saja sinar dikedua bola mataku, sinar yang sangat
cemerlang, sinar itu mengarah kepada seorang cowok tampan didepan pintu kelas,
seseorang yang sedari tadi kutunggu kedatangannya. Suasana hatiku pun menjadi
riuh gemuruh bagaikan diterjang ombak dan badai. Anak itu berjalan dengan
santai ketempat duduknya yang hanya berjarak satu meja dibelakangku.
“Dia
keren ya..” kata Guela kepadaku. Mendengar itu aku langsung tersentak. “Apa??”
tanyaku tak percaya.
“Aku
bilang, Rafael itu keren ya.. Pembawaanya dingin banget, jadi senang lihatnya”
Katanya lagi. Aku tidak tahu mengapa rasanya aku ingin marah kepada Guela. Aku
tidak tahu mengapa sepertinya aku tidak ingin ada orang lain yang mengagumi
Rafael selain aku.
“Kamu
suka sama Rafael?” tanyaku memastikan. “Hahahaha… Ya enggaklah, aku baru kenal
dia tiga hari masa udah langsung suka. Lagipula, aku cuma senang aja lihat
gayanya kayak gitu, cool banget.” Jawab Guela
dengan santainya.
“Oh..
Ia sih, tapi.. kayaknya orangnya sombong, lihat aja tuh, dari tadi dia cuma
diam aja” kataku pada Guela. “Mungkin aja dia lagi mempelajari suasana, atau emang
udah sifatnya pendiam” jawab Guela kepadaku.
Bel istirahat pun berbunyi, ingin sekali aku
mengelilingi sekolah ini, meski kami sudah pernah melakukannya pada saat MOS,
tapi bagiku itu masih belum cukup untuk mengenal lingkungan sekolah baruku yang
akan menjadi tempat bagiku untuk bercita-cita dan berusaha mewujudkan cita-cita
itu.
“keliling
yuk..!” ajakku pada Guela. “enggak ah, aku mau dikelas aja” jawab Guela. “Kamu
ga lapar? Kita keliling sekolah ini sambil ke kantin juga buat jajan” ajakku
lagi.
“
Tadi aku udah bawa bekal, lagipula aku belum lapar kok. Kalau kamu memang
lapar, barengan aja ama Tasya, thu dia mau ke kantin.” Kata Guela dengan lembut
kepadaku.
“Oh..
ialah, aku jajan dulu ya” jawabku pada Guela sambil tersenyum meski tidak
semanis senyuman yang dimiliki Guela. Aku dan Tasyapun pergi ke kantin bersama-sama.
Aku
kembali kekelas sendirian, diperjalanan menuju kelas tadi, Tasya dicegat oleh
sahabat-sahabatnya. Berhubung aku tidak terlalu dekat dengan Tasya, jadi aku
tidak tahu masalah apa yang sedang menimpa dia dengan sahabat-sahabatnya itu
maka aku memutuskan untuk kembali kekelas saja daripada menjadi penonton tak
diundang bagi Tasya dan teman-temannya. Namun, sesampainya dipintu kelas
langsung saja hatiku menjadi dag dig dug tak menentu bagaikan rebana yang
sedang ditepuk-tepuk.
“Kantin
tadi rame?” suara merdu itu terdengar olehku. Merdu sekali, melebihi merdunya
suara Mariah Carey. “Eng..enggak kok, ga terlalu rame” jawabku selembut dan
semanis mungkin pada Rafael, tidak lupa juga kuikutsertakan senyumanku yang
tidak terlalu mematikan itu.
“Oh”
Jawabnya singkat, bahkan sangat singkat. Entah kenapa hatiku menjadi jengkel,
kurang baik apalagi aku pada anak yang satu ini, “bisakah kau berbicara lebih
banyak lagi?” gerutuku dalam hati.
“Rafael
itu sombong sekali ya…” kataku pada Guela yang sedang asyik menulis
sampai-sampai dia tidak tahu bahwa air minumnya mengalir dengan deras diatas
meja. “Yaampun Ela, kok airnya ditumpahin sih.. Bukuku jadi basah nih” kataku
dengan agak kesal.
“Maaf
maaf, aku juga ga sadar… Kamu tenang aja aku bakal cari tisu buat ngelap meja,
soal buku biar nanti aku keringin dirumah, tadi kan Matematika ga ada PRnya”
jawab Guela. Jujur, aku memang menyimpan kekaguman tersendiri pada Guela,
anaknya cekatan, bersifat keibuan, dan pastinya wajahnya cantik. Bahkan dia
termasuk murid baru kejaran kakak kelas disekolah ini. Dia punya senyuman
mematikan dan mata sayu yang indah.
Dia
kemudian menghampiri meja teman-teman
dalam kelas satu persatu berusaha mendapat beberapa lembar tisu.
“Nih..
pake aja” kata Rafael pada Guela. “bener nih, bisa ku pakai semuanya? Soalnya
airnya banyak banget” tanya Guela disertai senyuman mematikannya.
“Bisa
kok.. Tisu kan memang buat ngelap yang kotor, ga ada gunanya juga kalau
disimpan-simpan melulu” kata Rafa lagi. Tapi kali ini disertai senyuman
manisnya untuk Ela. “Terima kasih” Balas Ela kemudian.
Melihat
itu hatiku sakit sekali, aku juga tidak
tahu mengapa. Rasanya aku ingin sekali membuat Rafa mengerti bahwa aku juga
ingin dia melakukan hal yang sama kepadaku.
“
Nah, sekarang udah bersih deh..” kata Guela kepadaku. Aku hanya senyum saja
kepadanya, rasanya lidahku kelu untuk berkata-kata.
“
Eh, kamu tuh selama ini salah menilai Rafa, dia orangnya baik loh.. Tau enggak
siapa yang ngasih tisu ke aku? “ tanyanya kepadaku. Aku hanya menggeleng.
“
Rafael. Yaampun, ternyata ga cuma keren tapi baik. Aku berharap bisa lebih dekat
lagi dengan dia.” Kata-kata Ela barusan membuatku ingin marah. Tapi kenapa? Dan
buat apa? Aku sangat bingung. Apa yang telah terjadi denganku.
Sampai
bel pulang berbunyi, aku tidak mengucapkan satu katapun pada Guela. Hanya satu
keinginan yang terlintas dikepalaku, aku ingin pulang dan bergumul dengan
diriku sendiri.
“Mama..
Aku pulang!” kataku singkat sambil menuju kamarku yang terletak dilantai dua.
Sesampainya dikamar, aku merebahkan tubuhku diatas tempat tidur. Tanpa
kusadari, ada mutiara-mutiara bening keluar dari mataku. Aku tidak bisa
membendungnya. Air itu mengalir begitu deras, aku juga tidak tahu mengapa, tapi
yang pasti ada rasa sakit yang menggorogoti hatiku. Jujur saja, Rafael itu
idolaku sekaligus cinta pertamaku. Aku harus akui ada rasa egois yang muncul
dihatiku. Aku tidak suka ada anak perempuan lain yang mendekatinya, tapi Guela
sahabatku. Wajarkah aku bersifat seperti itu kepadanya? Pertanyaan itu terus
menerus mengelilingi otakku.
Hari
ini hari kedua aku menjadi siswi resmi SMA Pelita Harapan. Tapi aku begitu lesu
untuk memulai hari ini. Sesampainya disekolah, aku duduk termenung sendiri,
kebetulan aku satu-satunya murid penghuni kelas saat ini.
“Pagi.
.” sapaku pada Rafael, idolaku yang baru saja meletakkan tasnya diatas meja. Dia
hanya tersenyum membalas sapaanku. Tak ada satupun kata yang keluar dari
mulutnya.
Hatiku
kian bertambah sakitnya. Bisa kubayangkan, seandainya Guela yang melakukannya
pasti akan terjadi sebaliknya.
“Pagi
Guela..” sapa Rafael pada Ela yang baru saja tiba dikelas. “Pagi juga.. Tumben
kamu cepat datang” kata Guela kepada Rafael disertai dengan senyuman manisnya.
“Kebetulan
aja rasa rajinku lagi kambuh-kambuhnya” Jawab Rafa. Dia kelihatan akrab sekali
dengan Guela. Kemudian mereka tertawa bersama. Aku merasa ini tidak adil,
mengapa Rafa tidak pernah seperti itu kepadaku. Perih sekali rasanya hatiku,
tak ada obatnya aku hanya berusaha untuk menahannya agar aku tidak merusak
kebahagiaan mereka berdua.
“kamu
kenapa? Kok sedih?” tanya Guela kepadaku. Aku hanya menunduk tak ingin
menunjukkan mutiara yang sedang membasahi pipiku ini.
“kamu kenapa? Sakit?” tanyanya lagi.
“Enggak
kok, aku baik-baik aja” jawabku singkat. “O iya, ini buku matematikamu yang
semalam basah gara-gara kena air minumku, udah aku sampul balik loh.. Biar
cantik kayak orangnya” Kata Guela berusaha menghiburku.
“Terima kasih” jawabku sangat singkat. Agak
kesal hatiku, cantik katamu? Kalau aku cantik mengapa Rafael mengacuhkanku. Aku
tidak suka dibohongi apalagi ini menyangkut perasaanku kepada idolaku, Rafael
Andrew Pratama.
“
Guela, PR Kimiamu udah siap?” tanya Rafael.
“
Belum nih, aku ga ngerti sama sekali” jawab Guela dengan malu-malu.
“
Yah, padahal aku mau nanya soal terakhir sama kamu. Kamu udah siap berapa?”
tanya Rafael lagi.
“Hahaha..
Aku belum siap sama sekali, aku benar-benar ga ngerti” kata Guela sambil
tertawa kecil tapi begitu lembut.
“
Yaudah, ayo kita kerjain sama-sama, siapa tahu kalau pikiranku dengan pikiranmu
digabung, bisa berhasil memecahkan soal superberat ini” Ajak Rafael. Guela pun
tidak menolak.
Aku
sudah tahu, meski dia selalu berusaha menyembunyikan perasaanya kepadaku tapi
tetap saja aku bisa membaca suasana hatinya saat bersama Rafael.
Kulirik PR kimiaku yang sudah selesai didalam
laci meja. “Rafa seandainya kamu mau bertanya padaku, aku pasti bantu, aku udah
siap kok” kataku lirih. Oh Tuhan, inikah yang dinamakan dilema, saat aku harus
memilih siapa yang harus kukorbankan agar perasaan bahagiaku bisa kembali lagi?
Semalaman
ini aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Ada rasa sakit yang diam didalam
hatiku. Padahal seingatku, aku belum menggoreskan pisau didalamnya. Atau
mungkin ada orang lain yang menggoreskannya? Tapi siapa? Rafael Andrew Pratama
atau Angelita Raguela Putri?
Oh bulan, bisakah kau menyanyikan lagu sendu
untuk menghibur hatiku yang perih? Aku berharap ini semua akan berakhir dengan
bahagia.
Hari
ini suasana kelas begitu riuh, ada yang sedang bernyanyi berkelompok, bernyanyi
tunggal, tapi masih belum ada yang bernyanyi secara berpasangan. Aku duduk
sendiri, Guela sedang bersama Rafael tepat dibelakangku. Mereka terlihat
semakin hari semakin akrab saja.
Kupasang
headset ditelingaku, entah kenapa ingin sekali rasanya aku mendengar lagu Leona
Lewis sambil kuikuti liriknya dalam hati.
“ Go ahead and say goodbye, I’ll be alright
Go
ahead and make me cry, I’ll be alright
And
when you need a place to run to
For
better for worst, I got you. . . . .”
“
Cie.. Cie.. Terima.. Terima..!” Teriak teman-temanku bersemangat.
Aku sedikit terganggu, sumber apa lagi ini yang
berani membuat teman-temanku menjadi begitu heboh, jujur saja ini juga
mengganggu kesenanganku. Kulirik kebelakang tempat kehebohan terjadi, begitu
kagetnya aku ketika melihat kejadian ini.
“Guela,
sebenarnya selama ini, aku suka sama kamu, aku dekat sama kamu karena aku ingin
tau kamu lebih banyak lagi dan sekarang aku sudah tau, maukah kamu jadian
denganku?” kata Rafael dengan malu, senang bercampur rasa was-was kapada Guela,
manatau dia ditolak olehnya.
“Terima
aja, kalian udah cocok kok” kata Tasya disambut tepuk tangan oleh teman-teman
sekelasku.
“Rafael,
aku mau kok jadian sama kamu” Jawab Guela dengan senyuman paling manis yang
pernah dimilikinya. Dalam hitungan detik saja , kelas menjadi sangat riuh
karena telah lahir satu pasangan serasi didalamnya.
Namun
tentu saja hal yang dialami Guela bertolak belakang dengan yang kualami.
Rasanya hati ini sudah pada pH terendahnya, sakit sekali, aku tidak dapat
membendungnya. Air mataku mengalir begitu deras. Aku berharap tidak pernah
mengenal kedua orang ini.
Malam
harinya, tak henti-hentinya aku menangis. Kenapa selalu Guela yang terbaik?
Kenapa dia yang selalu menjadi yang pertama? Ini tidak adil, batinku. Dia
sahabatku, seharusnya dia tidak melakukan ini kepadaku. Siapa yang jahat? Aku
atau dia? Aku yakin bintang-bintang dilangit dengan suara bulat akan berkata
“Guela”. Namun sang bulan berkata dengan lembut selembut Guela yang super
cantik itu “Grace”.
Oh
Tuhan akankah aku bisa menerima semuanya ini? Entahlah aku sendiri tidak yakin
dengan diriku. Kuatkah aku? Aku juga tidak tahu, yang jelas ini merenggut
semangatku.
Esok
harinya, Guela dan Rafael tiba dikelas bersamaan. Aku hanya bisa berpura-pura
senyum melihat mereka berdua.
“Pagi..
“ sapa Rafael kepadaku. Ini adalah sapaan pertama yang ia ucapkan padaku. Aku
tidak bahagia justru sapaan itu semakin memperlebar goresan luka dihatiku.
“Hari
ini aku mau olahraga sepuas-puasnya biar badan sehat. Ia nggak?”
Tanya Guela kepadaku dengan senyuman berbinar
yang menghiasi wajahnya.
“Ia” jawabku singkat. Kukira tidak akan berarti
baginya jika aku menjawab panjang lebar. Biasanya orang yang sedang jatuh cinta
seperti ini pikirannya sedang dipenuhi oleh sang pujaan hati.
“Ela,
kamu punya air minum? Aku haus nih. . .” Tanyaku sehabis olahraga kepada Guela,
sahabatku sekaligus pacar idolaku.
“Enggak
ada, tapi tenang biar aku minta dulu sama Rafael” jawabnya. Lalu ia ketempat
Rafael dan meminta air minum. Sayangnya, hanya ada satu Aqua gelas yang Rafael
punya. Air itu hanya bisa dibagi berdua saja.
“Ela,
kalian minum aja. . Aku biar minjam uang ama Tasya trus aku beli minum di
kantin” kataku kepada sahabatku.
“ Bener nih gak apa-apa? Makasi ya. .”
Jawabnya. Aku pun pergi meninggalkan dua
orang yang saat ini sangat berarti bagiku.
Malam
ini, aku merenung dengan tenang dikamar. Aku tahu aku tidak bisa memilih satu
diantara mereka untuk aku hancurkan untuk mendapatkan yang satu lagi, aku harus
belajar menerima kenyataan. Lagipula, aku masih bisa tetap mengagumi Rafael
meski dia sudah menjadi milik sahabatku sendiri. Aku punya satu foto Rafael
yang telah kuberi bingkai dan kuletakkan dimeja belajarku sebagai pil pemberi
semangat dan obat pelipur lara. Tidak ada salahnya kan aku tetap mengaguminya,
aku juga yakin pasti bulan dan bintang-bintang kali ini sepakat dengan
pikiranku. Kuputar lagu dari Mike Mohede dilaptopku sambil kuikuti liriknya:
“Cintakan membawamu, nanana. . .
Kembali
disini menuai rindu membasuh perih
Bawa
serta dirimu, nanana. . .
Dirimu
yang dulu mencintaiku apa adanya. . .”
MELFI ADE PUTRIANTI ZENDRATO
XI IPA 1
Web/blog : ....
KOMENTARI "Sahabat Vs Idola"
0 komentar:
Posting Komentar